Patah, Tumbuh, Tak Berganti
Saat itu matahari senja mulai merayap di ufuk barat, saat Aluna sedang duduk sendirian di balkon apartemennya. Udara sore membelai wajahnya dengan lembut, tapi hatinya tetap terasa sesak. Ia memandangi layar ponselnya yang sepi—tak ada pesan dari lelaki yang selama ini menjadi dunianya, Arkana.
Sudah bertahun-tahun Aluna berusaha menjadi yang terbaik. Ia selalu ada di sisi Arkana, bahkan saat lelaki itu terpuruk dan kehilangan arah. Ia mengorbankan banyak hal—waktu, tenaga, bahkan impiannya sendiri—demi seseorang yang selalu ia prioritaskan. Namun, Arkana tidak pernah benar-benar melihatnya.
Bagi Arkana, Aluna hanyalah seseorang yang bisa diandalkan, bukan seseorang yang layak diperjuangkan.
"Kenapa kamu masih bertahan, Luna?" suara Nayara, sahabatnya, terdengar dari telepon.
Aluna tersenyum pahit. "Karena aku mencintainya."
"Tapi apa dia pernah mencintaimu dengan cara yang sama?"
Aluna terdiam. Jawabannya sudah lama ia tahu, tapi selalu ia abaikan.
Suatu malam, Aluna jatuh sakit. Kepalanya berat, tubuhnya panas, tapi ia hanya ingin satu hal—Arkana. Dengan sisa tenaga, ia mengirim pesan, berharap lelaki itu datang. Namun, seperti biasa, pesannya hanya berakhir diabaikan.
Dua hari berlalu, dan akhirnya Aluna merasa cukup kuat untuk keluar. Tapi hatinya kembali hancur saat matanya menangkap sosok Arkana di sebuah kafe kecil. Tidak sendiri. Ia bersama seorang perempuan, dan senyumnya begitu tulus—sesuatu yang sudah lama tak pernah Aluna dapatkan.
Saat itu, sesuatu dalam diri Aluna patah.
Bukan karena Arkana memilih orang lain, tapi karena akhirnya ia sadar—sekeras apa pun ia berusaha, ia tidak akan pernah cukup bagi seseorang yang tidak benar-benar menginginkannya.
Malam itu, dengan tangan gemetar, Aluna mengetik pesan terakhir:
“Aku mencintaimu dengan sepenuh hati, Arkana. Tapi aku tak bisa terus berjuang sendirian. Aku pergi, tapi cintaku tetap tinggal—bukan untukmu lagi, tapi untuk diriku sendiri."
Lalu, tanpa penyesalan, ia mematikan ponselnya. Kali ini, ia memilih pergi bukan karena lelah mencintai, tapi karena ia akhirnya memilih untuk mencintai dirinya sendiri.
Komentar
Posting Komentar