Huru Hara Gadis Muda: Drama, Ambisi, dan Hidup Yang Enggak Pernah Biasa
Bagian 1: Kisah Masa Kecil
![]() |
(Dokumentasi Pribadi) |
Hai! Ini adalah bagian sudut kecil dari kehidupanku yang penuh warna. Namaku Juni, seorang gadis muda yang hidupnya jauh dari kata biasa. Kali ini, aku mau berbagi cerita tentang segala drama yang kadang bikin pusing, ambisi yang terus mendorongku maju, dan momen-momen absurd yang justru bikin hidup ini lebih menarik. Hidupku penuh dengan kejutan, kadang terasa seperti roller coaster yang nggak ada habisnya. Dari kegagalan yang mengajarkanku untuk bangkit, hingga keberhasilan kecil yang memberikan kepuasan luar biasa. Aku belajar bahwa hidup nggak selalu harus sempurna, karena justru dari kekacauan itulah kita menemukan potongan-potongan kebahagiaan dan makna.
Aku tumbuh di tengah suasana yang serba dinamis—bisa dibilang masa kecilku nggak pernah membosankan. Aku adalah anak yang terlalu penasaran, suka bertanya hal-hal yang mungkin orang dewasa malas untuk menjawabnya. Kalau ada pohon, aku pasti memanjatnya. Kalau ada jalan setapak, aku selalu ingin tahu ke mana ujungnya. Dunia waktu itu terasa begitu luas, dan aku ingin selalu untuk menjelajahinya tanpa takut salah jalan. Tapi, di balik rasa ingin tahuku yang besar, aku juga sering terjebak dalam kekacauan kecil.
Misalnya, pernah suatu kali aku penasaran dengan api dan tanpa sengaja membakar tumpukan besar dedaunan di halaman depan rumah, yang membuat orang ketakutan melihat besarnya api. Atau waktu aku dan teman-teman iseng mencoba membuat "ramuan ajaib" dari berbagai bahan dapur, yang akhirnya malah membuat kitchen sink penuh dengan bahan yang nggak jelas. Setiap hari rasanya seperti petualangan baru, kadang berakhir dengan kekacauan, tapi selalu penuh dengan pelajaran.
Waktu aku masih duduk di bangku SD, aku termasuk anak yang nggak kenal takut. Kalau teman-teman lain takut naik pohon atau melewati jalan gelap, aku malah sebaliknya—semakin tinggi pohonnya, semakin tertantang untuk memanjat. Rasanya dunia ini penuh dengan petualangan, dan aku ingin mencoba semuanya. Bahkan kalau ada permainan yang sedikit berbahaya, aku nggak pernah ragu untuk ikut. Mungkin karena aku tahu, orang tuaku selalu ada untuk mendukung dan menjaga, jadi aku merasa aman meskipun kadang bertindak nekat.
Aku juga selalu berusaha untuk jadi yang terbaik di kelas. Dengan segala rasa ingin tahu dan ambisi, aku selalu berusaha keras belajar dan mencatat setiap pelajaran dengan serius. Hasilnya, aku sering kali mendapat peringkat, ya 2 atau 3 lah di kelas, dan itu membuat orang tua ku bangga. Setiap kali aku naik kelas dengan nilai yang bagus, mereka nggak segan-segan memberikan hadiah sebagai bentuk apresiasi. Hadiah yang paling aku suka? Sepeda baru. Setiap naik kelas, aku selalu dapat sepeda baru yang lebih keren dari sebelumnya—itu jadi simbol kemenangan kecilku, dan tentu saja, kebanggaan mereka terhadap aku.
Sepeda itu bukan cuma sekadar hadiah, tapi juga pengingat bahwa usaha dan kerja keras itu selalu dihargai. Setiap kali mengayuh sepeda itu, aku merasa seperti bisa melaju lebih cepat menuju impian-impian kecilku. Rasanya seperti dunia milikku sendiri, di mana aku bisa berpetualang dan mengejar apa yang aku inginkan, dengan dukungan penuh dari orang tua yang selalu mendampingiku.
Dulu, waktu masih SD, aku termasuk salah satu anak yang sering terlibat dalam kenakalan. Aku nggak tahu kenapa, rasanya kayak itu hal yang biasa aja. Setiap kali ada teman yang terlihat beda—misalnya cara bicaranya yang pelan atau penampilannya yang agak aneh di mata kami—langsung deh jadi sasaran untuk dibuli. Kadang aku ikut-ikutan, ngejek, atau bahkan ngelakuin hal-hal yang bikin mereka merasa kecil. Rasanya sih seru, kayak bisa merasa lebih kuat atau lebih keren dibanding mereka yang dibuli. Bahkan, kalau ada yang salah atau nggak sesuai dengan apa yang kami harapkan, itu jadi alasan untuk nyerang mereka.
Selain itu, aku juga pernah punya kebiasaan buruk lain: suka balas dendam. Kalau ada teman yang nyakitin aku, misalnya ngejek orang tua atau ngomong hal yang nggak enak, aku langsung marah dan berusaha balas dendam. Aku ngerasa kalau nggak dibales, orang-orang nggak bakal menghargai aku. Jadi, setiap kali ada yang nyakitin, aku langsung mikir buat balas lebih parah, biar mereka tau rasanya.
Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai sadar kalau semua itu salah. Begitu aku mulai dewasa, aku melihat kembali kenakalan-kenakalan itu dan ngerasa betapa bodohnya aku dulu. Kenapa aku merasa perlu ngerendahin orang lain atau balas dendam buat ngeluarin rasa sakit hati? Sekarang, aku ngerti kalau semua itu cuma bikin hidup jadi lebih rumit dan penuh kebencian. Kalau waktu bisa diputar balik, aku nggak akan pernah lagi ngelakuin hal-hal kayak gitu. Sadar sekarang, jadi aku lebih mikirin perasaan orang lain, dan nggak gampang terprovokasi. Semua kenakalan itu cuma jadi pelajaran hidup buat aku yang bikin aku lebih bijaksana sekarang.
Dulu, aku termasuk anak yang rajin banget datang ke TPA (Tempat Pembelajaran Al- Qur’an). Setiap siang hari, aku nggak pernah absen, malah sering datang lebih awal dari teman-teman yang lain. Aku senang banget belajar ngaji, dan biasanya bisa cepat ngikutin apa yang diajarkan ustadzah. Aku suka banget waktu itu, apalagi aku bisa hafalin ayat-ayat dengan cepat, dan tak jarang ustadzah selalu memuji aku karena bisa lancar baca Al-Qur’an dan hafalan.
Tapi, semakin lama, aku mulai merasa semakin banyak yang harus dihafalkan. Rasanya jadi semakin berat, dan aku mulai merasa kesulitan buat ngejar hafalan-hafalan yang semakin panjang. Awalnya, cuma beberapa surat pendek, tapi lama-lama hafalan itu bertambah dan makin banyak. Setiap kali aku udah selesai hafal satu surat, ada lagi surat baru yang harus dipelajari. Waktu itu, aku mulai merasa jenuh dan mulai malas datang ke TPA. Rasanya, kayak nggak ada habisnya dan mulai mikir, "Kenapa sih harus hafalin semua ini?".
Semakin banyak yang harus dihafal, aku jadi sering nggak semangat lagi. Kadang, aku jadi malas dan lebih milih main sama teman-teman daripada belajar ngaji. TPA yang dulu jadi tempat yang seru buat aku, sekarang malah terasa berat. Ustadzah sempat sadar kalau aku mulai malas, tapi dia tetap sabar dan nggak putus asa. Tapi aku masih tetap tidak merasa semangat, dan akhirnya aku lulus dari TPA dengan nilai yang apa adanya.
Sekarang, kalau inget masa itu, aku jadi sadar betapa pentingnya buat punya komitmen dalam belajar. Walaupun dulu aku sempat malas, aku belajar dari pengalaman itu bahwa hafalan yang banyak itu sebenarnya untuk kebaikan diri kita, supaya kita bisa lebih dekat sama Allah. Dan, kalau dulu aku lebih sabar dan nggak mudah menyerah, mungkin aku bisa lebih banyak hafalan sekarang. Tapi itu jadi pelajaran buat aku untuk lebih konsisten dan nggak gampang putus asa dalam belajar.
Dulu, ketika aku masih kecil, aku punya kebiasaan menurut aku jadi salah satu kenangan paling seru dalam hidupku. Setiap sore, tetangga yang jualan ikan sering minta bantuan aku dan teman ku untuk bantu jualin ikan-ikan segar mereka. Ikan-ikan itu datang langsung dari laut, masih berkilau dengan kesegaran yang bikin orang langsung tertarik. Aku biasanya berjualan dengan sepeda keliling desa sambil teriak-teriak, "Iiiiikaaaan segaarrrr, iiiiiikaaaan segar !" dengan suara keras supaya orang-orang yang lewat bisa denger.
Waktu itu, upah yang aku dapat nggak seberapa, paling banyak sekitar 7.000 per hari. Tapi, ada kalanya aku bisa dapetin lebih, sampai 15.000, kalau misalnya banyak yang beli dalam jumlah besar. Rasanya tuh kayak menang lotre kecil, karena uang itu aku pakai buat beli jajanan atau buat simpanan tabungan kecil. Setiap kali ada yang beli ikan, aku merasa seperti pahlawan kecil yang membantu tetangga, dan yang paling asyik, aku jadi punya uang jajan sendiri tanpa harus minta orangtua.
Hal-hal kecil seperti itu, yang dulunya cuma dianggap biasa, malah jadi pelajaran berharga buatku. Aku belajar tentang usaha, kerja keras, dan betapa menyenangkannya bisa mandiri meski dalam hal yang sederhana. Kenangan itu selalu bikin aku tersenyum, karena dulu aku merasa seperti pebisnis cilik dengan tumpukan ikan segar di tanganku.
Dan begitulah, masa kecilku penuh dengan petualangan dan pelajaran yang tak terhitung jumlahnya. Mungkin waktu itu aku hanya berpikir aku sedang bersenang-senang atau hanya melakukan hal-hal kecil tanpa arti, tapi sekarang aku menyadari bahwa semua itu membentuk siapa aku suatu hari nanti . Dari kenakalan yang membuatku belajar tentang kesalahan, hingga momen-momen manis seperti jualan ikan dengan temanku yang mengajarkanku tentang kerja keras dan kebersamaan, semuanya meninggalkan jejak yang membekas. Kini, setiap kali aku melihat sepeda atau mendengar suara tawa anak- anak seumuran ku dulu, aku tahu bahwa hidup ini penuh dengan pengalaman yang tak ternilai harganya. Dan aku berterima kasih untuk semua kenangan itu, karena mereka adalah bagian dari perjalanan yang membawaku menjadi pribadi yang lebih baik.
Komentar
Posting Komentar