Rasaṅga
Aku pernah memaknai cinta itu, seperti langit senja__berwarna, damai, dan menjanjikan sebuah keindahan yang abadi. Namun, waktu dengan caranya yang kejam, mengajari aku bahwa cinta lebih menyerupai sungai yang berarus gelap: indah dari kejauhan, tapi menyimpan rahasia yang sulit ditebak ketika kau mencoba untuk menyelaminya.
Ada hari-hari ketika aku meyakini cinta sebagai penyelamat, tapi semakin aku menyentuhnya, semakin terasa bahwa cinta tak lebih dari pertaruhan. Kau meletakkan seluruh hatimu di atas meja nasib, hanya untuk bertanya-tanya: akan jadi apa kita di ujung cerita? Dua jiwa yang saling memeluk, atau dua orang asing yang saling menoleh hanya untuk melupakan?
Di matanya, aku selalu melihat sekilas bayangan masa depan__tapi bayangan itu tak selalu jernih. Ia bergetar seperti air yang tersentuh angin, penuh tanya, penuh kemungkinan. Dan aku, dengan segala keraguan ini, bertanya dalam hati: apakah kita akan menjadi akhir yang manis, atau hanya epilog yang pahit dari kisah yang tidak pernah selesai?
Aku sangat takut, bahwa kita pun akan bisa menjadi seperti mereka__orang-orang yang pernah mencintai hingga lupa caranya bicara. Tapi anehnya, meskipun ada ketakutan yang menjalar, aku tetap memilih untuk berjalan menuju cinta itu, seperti kupu-kupu yang mendekati api. Mungkin aku akan terbakar, mungkin tidak. Tapi entah mengapa, aku lebih takut hidup tanpa pernah merasakannya.
Dan ya, di sanalah aku, berdiri di ambang cinta yang berarus gelap, dengan harapan yang rapuh namun tak hancur, bertaruh seluruh hatiku sekali lagi.
Komentar
Posting Komentar