01,02,25
Di sekelilingku, dunia sudah terlelap. Hanya lampu ruangan kamar yang masih terang benderang menyala, menerangi layar laptop yang masih bersinar dalam kesunyian malam. Musik dari ipad terus mengalun, menjadi teman yang setia di antara kelelahan yang menggumpal di pundak.
Saat jemariku hendak menutup laptop, sebuah lagu tiba-tiba mengalun pelan. Nadin Amizah. Semua Aku Dirayakan. Aku nyaris tak bergerak ketika lirik pertamanya terdengar dengan suara lembutnya yang selalu terasa seperti pelukan:
"Terima kasih katanya, semua aku dirayakan. Jangan menangis, ku dibuai sampai tenang."
Aku terdiam. Pikiran terasa sesak oleh sesuatu yang tak bisa segera kupahami. Dalam sekejap, kenangan masa kecil menyeruak, membawaku kembali ke hari-hari di mana jatuh bukanlah hal yang menakutkan, karena selalu ada tangan yang sigap mengangkatku kembali. Aku teringat saat kecil, ketika aku terjatuh dari sepeda dan lututku berdarah, bagaimana seseorang bergegas menghampiri, mengusap kepalaku, berkata dengan lembut, "Tidak apa-apa. Kamu baik-baik saja." Lalu dengan pelukan dan belaian di punggung, tangisku perlahan mereda.
Kini, tak ada lagi tangan yang terulur saat aku terjatuh, tak ada lagi suara yang menenangkan di saat aku merasa kalah oleh dunia . Bukan karena tak ada yang peduli. Tapi karena aku sendiri yang sudah segan meminta. Segan menunjukkan air mata, segan mengakui bahwa aku butuh dikuatkan. Karena aku sadar, dunia yang sekarang aku rasakan, tak selalu memberi ruang untuk kelemahan.
Apa pun yang terjadi, aku harus bisa berdiri sendiri. Luka harus kututup sendiri, tangis harus kuhapus sendiri. Aku harus menenangkan diriku sendiri, meyakinkan diriku sendiri bahwa semuanya baik-baik saja, meski kadang rasanya tidak.
Tak sengaja aku menatap bayanganku di layar laptop yang mulai meredup. Napas panjang kuhela, mencoba mengusir sesak yang masih menggantung di dada. Mungkin, begitulah menjadi saat ini—belajar menerima bahwa kini akulah yang harus menjadi pelukan bagi diriku sendiri.
Komentar
Posting Komentar